Prestasi

Bangga Berhasil Berjuang untuk Negara
Nama Indonesia berkibar di arena lomba bahasa Mandarin tingkat internasional di China, 28-31 Oktober lalu. Itu karena murid SMA Nurul Jadid Paiton Probolinggo Novi Basuki dan timnya berhasil keluar sebagai juara empat dalam lomba tingkat SMA tersebut.
YATIMUL AINUN, Paiton
---
Sekitar pukul 21.00 pada Sabtu (7/11) lalu, Radar Bromo menjumpai Novi Basuki di sekolahnya, di lingkungan SMA Nurul Jadid Paiton. Malam itu Novi mengenakan kemeja motif garis-garis, berkopyah putih. Rasa gembira atas prestasi yang berhasil diraihnya di Tiongkok, masih tergurat jelas di roman wajahnya.
Saat ini Novi masih duduk di bangku kelas XII jurusan bahasa. Didampingi salah satu gurunya, Ali Ishaq, Novi pun berkisah tentang perjalanannya mengikuti lomba tersebut.
Remaja kelahiran Situbondo 11 September 1993 itu mulanya mengikuti seleksi lomba serupa tingkat Jatim. Seleksi itu berlangsung Mei lalu di Universitas Kristen Petra, Surabaya. Kompetisi itu digelar oleh Badan Koordinasi Pengembangan Bahasa Mandarin (BKPBM) Provinsi Jatim. "Dalam kompetisi itu, alhamdulillah saya berhasil menjadi juara 1," katanya.
Selanjutnya, Novi diseleksi lagi untuk tingkat nasional. "Kompetisi di tingkat Nasional itu pelaksananya ada tiga. Kedutaan Besar Tiongkok untuk Indonesia, BKPBM Pusat dan media harian Guoji Ribao (Jawa Pos Grup). Itu pelaksanaanya pada bulan Mei, bertempat di Hotel Batavia Jakarta Barat," tutur Novi.
Ada empat siswa yang mewakili Jatim saat itu. Yakni Imelda Ratna Sari dari SMA Stella Maris Surabaya, Caroline Widjayanti dari SMA Santo Paulus Malang, Chairiyah dari SMA Arrisalah Kediri dan Novi Basuki sendiri.
Dari empat kontestan tersebut, Novi Basuki meraih juara 1. "Baru saya layak mewakili Indonesia, ikut kompetisi bahasa Mandarin di Tiongkok itu," jelas anak yang bertempat tinggal di Desa Tamansari, Kecamatan Sumbermalang, Kabupaten Situbondo ini.
Novi dengan dua pelajar lainnya berangkat ke Tiongkok membawa nama Indonesia. Dua siswa lainnya yang menjadi tim Indonesia bersama Novi adalah Chai Anni dari SMA Kalam Kudus Jakarta Barat yang masih duduk di kelas II, dan Lin Yuan Yang, murid kelas III SMA Kristen Imanuel Kalimantan Barat.
Selanjutnya, Novi yang putra dari pasangan Slamet dan Hairiyah itu berangkat dari Ponpes Nurul Jadid pada 16 Oktober langsung menuju Jakarta. Dia didampingi Wakasek Kesiswaan SMA Nurul Jadid Didik Agung Wicaksono. "Di Jakarta langsung menuju ke Gereja Kristen Kalam Kudus," kata remaja yang punya hobi membaca itu.
Baru pada 20 Oktober, rombongan kontestan asal Indonesia itu berangkat ke China. Dari Jakarta, ketiga peserta itu didampingi oleh oleh Lin Lina, pendamping dari Jakarta. Sampai di China, para kontestan itu, tinggal di Hotel Zhong Gong di Beijing.
Novi dan rombongannya tinggal di Beijing selama dua hari untuk mengikuti acara upacara penyambutan peserta dari berbagai negara. Menurut Novi, kompetisi tersebut diikuti 158 orang dari 29 negara di lima benua. "Yang saya tahu, dalam pembukaan lomba saat itu, hadir para petinggi negara-negara peserta," katanya.
Selanjutnya, lomba bertajuk The 2nd "chinese bridge" Chinese Proviciency Competition for Foreign Secondary School Student itu digelar di gedung salah satu stasiun televisi, Chong Qing Dian Shi Tai. "Jadi, perlombaan itu sudah yang kedua kalinya dihelat oleh China," ujar Novi dengan tangan menggenggam kamus bahasa Mandarin.
Dalam perlombaan itu penilaian diberikan pada empat tahap. Pertama, perkenalan delegasi. Dalam tahap itu, yang dinilai adalah kelancaran berbahasa Mandarin. Tahap kedua mempelajari beberapa budaya Tionghoa. "Setelah mempelajari budaya Tionghoa dengan waktu cukup terbatas, lalu diperagakan oleh semua peserta," kata Novi. Tanpa sadar matanya berkaca-kaca mengingat perjuangannya saat itu.
Selama lomba, seluruh peserta diacak. Peserta dari Indonesia ada yang kumpul dengan peserta dari Amerika, Afrika dan lainnya. "Lalu dibentuk kelompok-kelompok. "Dalam kelompok saya, peserta dari semua negara ada," akunya.
Bagaimana peran Novi selama lomba? Novi menjawab, dalam tahap kedua, yang melombakan budaya Tionghoa, dirinya memeragakan teori menggambar Hua Hau (lukisan Tiongkok).
"Menggambar Hua Hau itu, kalau di Indonesia memakai cat air. Tetapi kalau di China pakai maobi (kuas tulis/mopit). Dalam lukisan itu, saya memakai dua teori, pertama, nongmo (tinta tebal) kemudian danmo (tinta tipis)," katanya.
Selanjutnya jelas Novi, di tahap ketiga, lombanya Zhonghua Yingxiang (pendalaman pengetahuan tentang China). Novi dalam lomba itu diantaranya berperan penting dalam lomba pengetahuan tentang sejarah, geografi, dan kebudayaan China. Itu dikemas dalam bentuk cerdas cermat.
"Sementara peran Chai Anni dan Lin Yuan Yang itu, lebih pada praktiknya. Mislanya, memperagakan tari dan senam Taiji (senam taici) dengan memakai busana batik ala Indonesia," ujarnya.
Setelah melalui proses panjang itu, tim dari Indonesia masuk dalam babak 10 besar. "Alhamdulillah, tim kami dari Indonesia, dianggap memenuhi syarat. Kami dan teman-teman saat itu bangga luar biasa. Karena sudah berhasil berjuang untuk negara," katanya mengenang.
Dari sepuluh kontestan itu, dipilih empat tim. "Nama tahapannya adalah Shi Jin Si (dari 10 besar diambil 4 besar). Empat itu yang masuk dalam babak grand final Chinnese Bridge Internasional di Beijing Tiongkok itu," ingat Novi.
Empat tim yang masuk babak grand final itu ialah Singapura, Vietnam, Jepang dan Indonesia. Dan Indonesia akhirnya berada di posisi keempat. "Walaupun posisi keempat, kami bangga. Karena ini tingkat internasional," kilah Novi.
Grand final dilangsungkan pada Sabtu (31/10). "Pukul 20.00-22.00, waktu setempat. Di China lagi musim dingin. Seakan hujan salju. Untung saya terbiasa dengan cuaca dingin di Desa Sumbermalang, Besuki," katanya sambil tertawa.
Novi merinci, di puncak lomba itu, cerdas cermat mencari jawaban benar, dapat nilai 100. Kalau tari dalam hal kelincahan dan keindahannya busananya. "Dan kalau lomba menggambar dengan teori tradisi China, yang dinilai soal kebenaran teori menggambarnya," katanya.
Pulang dari China, Novi tak hanya membawa rasa senang sudah bisa menginjakkan kaki di China. Tapi juga rasa bangga telah ikut berperan membuat tim Indonesia berada di posisi empat. Ini membuatnya merasa bersyukur telah mempelajari bahasa Mandarin.
Novi belajar bahasa Mandarin sejak menjadi siswa di SMA Nurul Jadid. Begitu masuk pada 2007, alumnus SMPN 1 Sumbermalang, Besuki Situbondo ini langsung masuk jurusan unggulan bahasa. "Saya belajar bahasa Mandarin karena ingin tahu saja. Tidak ada maksud apa-apa," tutur anak petani ini.
Di Ponpes Nurul Jadid memang ada beberapa lembaga bahasa. Ada Inggris, Arab, Jepang dan Mandarin. "Saya memilih bahasa Mandarinnya," ujar Novi. Selama di SMA Nurul Jadid, Novi diajar bahasa Mandarin oleh dua guru native, Niu Shi Wei dan Peng Long Ming.
Selain belajar kepada dua guru itu, Novi mengaku juga belajar secara otodidak. Ke mana-mana, ia tidak pernah meninggalkan kamus bahasa Mandarin. Ilmunya terus dipraktikkan dengan teman-teman sekolahnya.
Saat akan mengikuti perlombaan ke China, Novi sempat ragu bisa menang. "Karena saya kurang persiapan dan belum berpengalaman. Dan Indonesia adalah kontestan pertama dalam lomba itu," jelas anak berkulit hitam manis ini.
Tapi, perjuangan Novi, Chai Anni dan Lin Yuan Yang akhirnya berbuah hasil membanggakan. Mereka berhasil menempatkan nama Indonesia di posisi keempat dari 29 negara.
Kata Novi, prestasi yang disandangnya juga tidak terlepas dari doa kedua orang tuanya dan para guru di pondoknya. "Sebelum berangkat, tidak lupa minta doa kedua orang tua, dan doa Kiai Zuhri Zaini (pengasuh Ponpes Nurul Jadid)," tuturnya.
Apa hadiah dari lomba itu? Novi mengaku hanya hadiah sertifikat dan piala. "Sertifikatnya masih dalam proses pengiriman dan pialanya sudah diserahkan ke Jakarta. Sama sekali tidak ada hadiah uang tunai," katanya.
Walau begitu, ia tetap senang. Apalagi sepulang dari China, Novi membawa setumpuk buku yang dibelikan oleh Peng Long Ming, gurunya. "Saat di Tiongkok, beliau menemui saya dan membelikan saya buku satu koper. Itu hadiah yang sama dapatkan," ujarnya girang.
Tapi, dalam hati kecil Novi, masih ada rasa kurang dari prestasi ini. "Sebenarnya masih belum terlalu bangga dengan juara ini. Saya masih akan terus berjuang untuk selalu menjadi yang terbaik dalam hal bahasa Mandarin, sesuai dengan cita-cita saya yang ingin menjadi duta besar Indonesia untuk Tiongkok. Semoga bisa tercapai," harapnya.
alau begitu, ada kesenangan luar biasa yang dirasakannya setelah lomba tersebut. Ia ditawari beasiswa kuliah di Universitas Indonesia (UI) Jakarta jurusan Sastra Tionghoa. Selain itu, ia juga diminta kuliah di Perguruan Tinggi Chongqing Shifan Daxue di Tiongkok.
Novi condong memilih kuliah di Tiongkok. Tapi, ia bermasalah dengan biaya. "Saya ingin kuliah di Tiongkok. Orang tua memperbolehkan. Tapi, orang tua saya tidak ada biaya. Jadi, diharapkan untuk mencari biaya sendiri. Kalau tidak ada uluran tangan, kami akan akan mencari lewat prestasi," ujarnya bersemangat. (yud)

http://smanj.sch.id/index.php/arsip-tulisan-bebas/44-prestasi/120-novi-basuki-murid-sma-nurul-jadid-paiton-juara-empat-lomba-bahasa-mandarin-tingkat-internasional-